Jumat, 24 Mei 2013

Kerukunan Keluarga Kare I Yuseng Daeng Mallingkai Ri' Bontonompo

Keberadaan ornamen sejarah pada suatu daerah, pertanda adanya tatanan budaya dan nilai-nilai luhur yang hidup di tengah masyarakat. Pelaku dan peristiwa sejarah menyisahkan riwayat pada masa kejayaannya. Keberadaan sejarah bagi generasi pelanjut bukanlah sepenggal cerita turun temurun, akan tetapi menjadi tanggung jawab mulia sebagai dasar untuk pemikiran bersama. Wujud kebersamaan dalam menjaga dan melestarikan, merupakan simbol yang dapat menyatukan ide, gagasan, gerak dan semangat bersama, demi mengembalikan nilai – nilai luhur Kare Oeseng Daeng Mallingkai sebagai embrio kedaulatan di masa kejayaan Bontonompo, baik dalam kehidupan keluarga maupun bermasyarakat. Sekitar tahun 1868, Oeseng Daeng Mallingkai (baca: I Yuseng Daeng Mallingkai), menjabat kepala Pemerintahan di Bontonompo dengan gelar Kare. Sosok pemberani yang dimilikinya dalam melawan penjajah maupun pemberontakan terhadap ketidak adilan, telah menghantarkan rakyatnya hidup rukun dan damai. Setelah wafat merupakan Kare terakhir, Gelar Kare berubah menjadi Anronggoroe (baca: Anrong Guru). Catatan sejarah Kare Oeseng Daeng Mallingkai, diharapkan dapat dikembangkan sebagai nilai – nilai luhur dalam mencerminkan kepribadian budaya setempat. Melestarikan benda peninggalan bersejarah yang memiliki nilai perjuangan, merupakan salah satu bukti sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Kepahlawanan rakyat Indonesia dalam melawan segala bentuk penjajahan di Nusantara, tak akan ada habisnya untuk digali, meskipun demikian sudah menjadi rahasia umum, dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia, banyak tokoh maupun peristiwa heroic yang terjadi namun seakan hilang dan hanya menjadi cerita rakyat yang diwariskan secara turun – temurun. Ini tentu tidak akan lepas dari penguasaan penjajah Belanda dan beberapa pihak yang Pro Belanda di Pasca perjanjian Bungaya. Kecenderungan dalam mengaburkan sejarah kepahlawanan dan atau peristiwa perang yang dikobarkan para tokoh perlawanan terhadap sistem penjajahan. Salah satu peristiwa yang bisa dikatakan masih ditutup – tutupi adalah terjadinya perang Mangngasa atau yang populer disebut “Bundu ri Mangngasaya”. Perang Mangngasa ini melibatkan sejumlah raja – raja bawahan yang biasa biasa disebut “Karaeng Palili”. Para Karaeng palili merasa tidak puas dan tidak senang, atas kepemimpinan Raja Gowa yang saat itu dijabat oleh I Kumala Karaeng Lembang Parang, Sultan Abdul Kadir Mohammad Aidit. Dimana pada masa itu, kepemimpinan Raja Gowa lebih mementingkan hubungan kerjasama dengan pihak Belanda daripada raja – raja bawahannya. Beberapa Karaeng Palili tidak menerima dan merasa ada perlakuan tidak adil. Upaya pemberontakan dan atau perlawanan yang dilakukan oleh Karaeng Palili terhadap kepemimpinan Raja Gowa. Sebagai puncak perlawanan, peperangan di Mangngasa terjadi, atas bantuan Belanda yang diberikan kepada Raja Gowa, perang di Mangngasa berakhir dan dapat diredam. Salah seorang pelopor perang di Mangngasa adalah Kare Oeseng Daeng Mallingkai (baca; Kare I Yuseng Daeng Mallingkai), yang saat itu sebagai kepala pemerintahan Bontonompo dengan gelar Kare Bontonompo.

1 komentar:

  1. teaki kaluppai Mammuntuli Daeng Rombo (Anrong Guru Pertama di Bontonompo)....

    BalasHapus