Jumat, 24 Mei 2013

Riwayat Gaukanga di Bontonompo

Gaukanga atau benda pusaka kerajaan milik kerajaan Bontompo adalah panji atau bendera dari kain sutera berwarna biru yang disekelilingnya bertuliskan ayat 255 Surah al Baqarah atau yang lazim disebut ayat Kursi. Karena kainnya dari sutera panji ini juga sering disebut Sa’be Tamammalisi’na Bontonompo, selainitu kerap juga di Jimaka. Setiap sudutnya bergambar dua segi tiga sama sisi yang saling bersilangan sehingga berbentuk menyerupai bintang. Dalam gambar bintang tersebut tertulis dalam aksara Arab, sahabat empat Rasulullah Muhammad SAW, yakni Ali, Abu Bakar, Umar dan Usman. Sementara di bagian tengahnya terlukis pedang zulfikar yang kedua ujungnya terbelah dua. Diceritakan secara turun temurun, Seorang raja Gowa atau yang lazim disebut Sombaya memperisterikan seorang puteri di wilayah Bonto Mate’ne, Bontonompo yang kemudian melahirkan seorang putera. Diperkirakan saat itu yang menjabat sebagai Sombaya adalah I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Sultan Malikussaid Tumenanga ri Papanbatuna (lahir : 11-12-1605, wafat : 6-11-1635). Beranjak dewasa, sang pemuda keturunan Sombaya ini, mempertanyakan siapa sesungguhnya ayahnya. ”Siapakah gerangan ayahku” tanya sang pemuda kepada ibundanya. “Ayahmu berada di Gowa, yang sementara ini duduk pada tahta kebesarannya (Sombaya)”, terang ibunya. Suatu ketika, saat diadakan pesta kebesaran di kerajaan Gowa, dimana semua orang berkunjungan untuk menyaksikan berbagai atraksi seperti raga. Sang pemuda tersebut membulatkan tekatnya untuk terlibat dalam atraksi sepak raga atau a’raga. Dalam abtraksinya a’raga, pemuda ini terlihat sangat terampil memainkan sikulit rotan dan menampilkan beberapa gerakan unik yang tidak dimiliki oleh pemuda lainnya. Karena keterampilannya inilah, sang baginda Raja Gowa memberikan perhatian khusus kepadanya. Ia pun mempertanyakan asal – usul pemuda tersebut, kepada orang kepercayaannya. “Siapa gerakan anak muda itu…?” tanya Sombaya. “Dia atanta Sombangku dari Bontonompo”, ujar orang kepercayaannya. Mendengar jawaban tersebut, Sombaya ri Gowa kembali teringat sesuatu, lalu memerintahkan kepada orang kepercayaannya tersebut untuk memanggil sang pemuda. Saat itulah terjadi dialog antara sang baginda dengan pemuda dari Bontonompo ini. Usai berdialog, Sombaya kemudian mengirim pemuda tersebut ke Arung Lemoape (Arung Lemo Appa), seorang tokoh yang terkenal dalam pengajaran ilmu agama Islam di Bone. Setelah beberapa tahun memperdalam memperdalam ilmu agamanya, ia kemudian mempersunting kemenakan Arung Lemoape, yang melahirkan dua putera bernama Kare Tulolo dan Kare Maddatuang. Setelah dewasa, keduanya ingin mengetahui asal muasal leluhur ayahnya. Setelah diberitahu tentang asal ayahnya, bahwa mereka berasal dari Gowa, keduanyapun berkeinginan untuk melihat wilayah tersebut. Sebelum keduanya berangkat, maka diadakanlah upacara pemberangkatan. Kepada Karaeng Tulolo dianugerahi tanda kebesaran “Nipisalingi” (sebilah keris) dan adiknya Kare Maddatuang dianugerahi “ Gaukanga “ berupa panji yang disebut Jimaka. Dalam perjalanan ke kampung leluhurnya, mereka singgah di sebuah wilayah bernama Tompo Biring, sebuah daerah yang secara geografis mirip dengan Lemoape. Kondisi ini membuat keduanya terharu, sehingga Kare Tulolo meminta kepada adiknya untuk tinggal ditempat tersebut, sementara dirinya kemudian melanjutkan perjalanan ke Gowa. Setelah menyusuri tebing dan lembah, sampailah Kare Tulolo di Pallangga dan bermukim di tempat tersebut cukup lama. Sementara Kare Maddatuang, karena hatinya tidak tenang, kemudian menyusul kakaknya yang akhirnya tiba di daerah Bontonompo. Kare Maddatuang disambut dengan penuh sukacita, setelah menuturkan asal – usulnya yang rupanya adalah keturunan Raja Gowa yang memperisterikan seorang puteri dari Bonto Mate’ne, Bontonompo. Ia kemudian menetap di wilayah tersebut, begitu juga dengan Gaukanga yang kemudian menjadi simbol kedaulatan Bontonompo yang tetap dilestarikan oleh keturunannya. Beberapa referensi dan atau catatan Belanda yang disadur oleh Manai Sopian diceritakan, bahwa Bontonompo sebagai pemerintahan berdaulat, setelah wilayah Bontonompo yang sebelumnya berada dalam pemerintahan Gallarrang Manuju, diserahkan secara sepihak sebagai hadiah kepada anak Raja Aru Lemo Appa, saat melakukan perburuan. Anak Raja Lemo Appa inilah, yang diperkirakan membawa Panji Jimaka yang selanjutnya menjadi Gaukanga ri Bontonompo. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1669, yakni sekira Sultan Hasanuddin Tumenanga ri Balla pangkana mengundurkan diri sebagai Somba ri Gowa. Pelaksana tugas sebagai Somba saat itu, dijabat oleh I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tumenanga ri Passiringanna. Gaukanga ini pernah disita oleh pemerintah kerajaan Gowa, saat Kare I Yuseng gugur dalam perang Mangngasa. Gaukang ini lama berada di Kerajaan Gowa, dan disimpan oleh Anrong Guru Bontonompo yang pertama, I Mappatunru Karaengta Bura’ne. Kemudian menyerahkan ke adiknya untuk disimpan. Nanti pada saat Anrong Guru I Mannyaurang Daeng Sibali yang juga adalah cucu I Poli Daeng Mannyarrang menjadi penguasa, barulah Gaukanga dikembalikan, dan disimpan di rumah jabatan Anrong Guru yakni sekitar tahun 1905 – 1911. Sebuah kisah yang diceritakan orang – orang sebelumnya, disebutkan setelah Bendera kerajaan ini lama disimpan di kerajaan Gowa, suatu ketika Jimaka secara gaib menyatakan kepada Karaengta Burane agar dirinya dikembalikan ke Bontonompo. “Mengapa engkau menyimpan saya di sini?, kembalikan dan bawalah saya ke Bontonompo“. Atas kejadian tersebut, Karaengta ri Burane meminta kepada Angrong Guru Bontonompo menjemput Gaukanga di Lakiung Gowa. Saat itu Gaukanga dikembalikan ke Bontonompo dan ditempatkan di rumah jabatan Anrong Guru atau Balla Lompoa ri Bontonompo di kampung Bu’nea di kediaman Poli Daeng mannyarrang. Sekarang gaukanga disimpan di kediaman Hj. Aminah Daeng Pati di Bonto Cara’de kelurahan Tamallaeng, Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, atau di Balla Lompoa Bontonompo.

2 komentar:

  1. Tabe' kayak kukenal ini tulisanta daeng... tapi lebih srek saya lihat yang ada di http://www.kabarmakassar.com/more/tokoh/item/3941-kesatria-bontonompo,-i-yuseng-daeng-mallingkai.html

    Pemulihan teks-teks lama perlu dilakukan dengan memperbaiki tata bahasa dan alur cerita serta mengkonfirmasi data yang mana cerita yang terlalu dilebih-lebihkan dst sehingga sejarah bisa diteliti secara ilmiah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam Sejahterah,
      Terima kasih atas masukannya. Berharap jika ada hal yang berlebihan akan kaidah penulisan maupun alur ceritanya itu di luar tanggung jawab kami. "Riwayat Gaukanga di Bontonompo" ini kami Publikasikan sesuai dengan tulisan lontarak aslinya. Jika ada referensi yang Rangga Dg. Awing miliki dapat pula dibagi sehingga dapat disempurnakan sesuai dengan harapan kita semua, agar tidak terjadi justifikasi sepihak tanpa ada assesment sebelumnya. Tabe.
      Hormat Kami,

      Hapus